05 November 2009

mencari manusia RENNAISANCE dalam Film-film Garin Nugroho????


bicara tentang Garin Nugroho memang dilematis.. dia salah satu pembuat film Indonesia yang telah menghasilkan banyak film, dia terkenal di luar dan dalam negeri tetapi film-filmnya susah didapatkan oleh publik penonton. satu-satunya cara hanyalah melalui festival-festival (yang umumnya diadakan di luar negeri) atau special screening, (gw nonton Opera Jawa di Goethe-Institut dalam rangka ulang tahun Mozart yang ke-251).

dulu Opera Jawa pernah pula diputar di Blitz tetapi sayang sekali penontonnya tidak terlalu banyak, atau mungkin publikasinya yang kurang.. gw nonton film Garin pertama kali di televisi, filmnya berjudul Bulan Tertusuk Ilalang dan gw suka banget film itu. film-film Garin Nugroho terakhir yang gw tonton adalah Under The Tree dan Generasi Biru, keduanya kurang gw suka. Under The Three masih lumayanlah, meski ada satu bagian cerita yang norak. menurut gw, hehehee.. :D

tapi Generasi Biru, yaampun.. gw pikir mas Garin udah putus asa atau udah ngga punya energi lagi untuk membuat film sebagus Bulan Tertusuk Ilalang atau Opera Jawa. atau mungkin sebaliknya, dia memiliki terlalu banyak hal yang ingin dia ungkapkan sehingga ngga bisa lagi berdamai dengan keterbatasan medium film.. makanya dia jadi sutradara teater Iron Bed, artis instalasi di Rotterdam Film Festival, penulis artikel di media, hingga pembaca puisi. yahh.. suka-suka dialah! namanya juga nyari makan, ada job-an.. sikat aja boy! hehhehe.. :P

mungkin mas Garin juga tidak terlalu peduli lagi dengan penonton-penonton film seperti gw, yang mengharapkan orang-orang seperti Garin Nugroho masih membuat film-film dengan pendekatan dan gagasan yang berbeda. tapi kata temen gw, "hari gini masih ngarep". tapi please.. bolehin gw menulis beberapa hal yang mengganggu pikiran gw akhir-akhir ini.

1. Garin Nugroho adalah sosok pembuat film yang pernah memiliki posisi penting dalam film Indonesia. ngga setuju? boleh. bebas ko.. tapi dia adalah pembuat film yang pertama kali menegaskan bahwa medium film bisa digunakan sebagai ekspresi. piranti sinematik film bisa dibuat for the sake of cinema, bukan hanya sebatas propaganda, bukan pasar barbar kapitalisme dunia ketiga. dulu nih Usmar Ismail dan Asrul Sani pernah melakukannya, tapi itu di tahun 1950-an dan 1960-an. Garin melakukannya ketika apa yang disebut sinema modern telah lahir. manusia mulai mempertanyakan eksistensinya sendiri, perang dunia kedua menghancurkan seluruh impian mulia tentang proyek-proyek modernitas, subyektifisme mengemuka, art-house cinema Eropa mulai terkonsolidasi, dan penolakan pada realisme dan konvensi klasik Hollywood menjadi mode artistik yang trendi di sekolah-sekolah film. formasi sinema dunia berubah dan begitulah fase-fase terakhir kehidupan rezim Orde Baru.

2. meskipun demikian, tidak satu pun tulisan atau kajian (Eric Sasono dan Budi Irawanto saja mungkin) yang melihat body of works Garin Nugroho sebagai karya. gw udah mendengar terlalu banyak gossip, sentimen, kebenaran dan fakta tentang Garin Nugroho dengan seluruh akhlak, watak, sistem kerja hingga karya-karyanya, tetapi ngga seorangpun yang berhasil menuliskan karya-karyanya. banyak karya yang menolak interpretasi, yaa.. memang. tapi bahkan film-film karya Antonioni atau Weerasathakul atau contoh yang tampaknya lebih buruk, sinema kecil Malaysia menjadi mendunia karena tulisan-tulisan yang memproduksi wacananya.

3. ketika Pusan Film Festival - tahun 2004, menulis judul katalognya dengan "Garin And The Next Generation : New Possibility Of Indonesia Cinema", banyak orang ngamuk (my real experience). seolah-olah generasi muda sekarang ini bekerja di industri film Indonesia hanyalah bayang-bayang Garin Nugroho. hehehhe.. funny! pertama, harus tau dulu dong kalo generasi setelah Kuldesak adalah generasi yang menolak sejarah sinema Indonesia sebelumnya – sadar ngga sadar, merasa ngga merasa. mereka menolak apapun yang identik dengan masa sebelum mereka. penolakan sejarah ini sejalan dengan bersebarangannya pendekatan yang digunakan oleh Garin Nugroho dan generasi Kuldesak. Garin Nugroho memiliki referensi kuat pada art-house cinema, generasi sekarang, berbagai macam referensi. Garin Nugroho ngomongin tentang kesunyian, tentang pemberontakan yang diam-diam.. generasi baru lebih blak-blakan, hidup di tengah hancurnya distingsi budaya tinggi-budaya rendah, film intelektual-film komersial. Garin Nugroho dibesarkan oleh sistem festival yang kini menjadi semakin penting dalam currency sinema dunia. generasi baru lebih ingin menggarapan domestic market, tapi gw harus bilang bahwa penolakan bukanlah penghapusan sejarah. perbedaan bukanlah alasan untuk menghilangkannya dari perbincangan tentang karya-karyanya.

ayo deh.. kita lihat film-film Garin Nugroho sendiri, terutama tiga yang terakhir (yang gw tonton tentunya) Opera Jawa, Under The Tree dan Generasi Biru. gw ngebaca interview Garin di majalah positif. perasaan gw campur aduk, antara rada mual sekaligus prihatin. terus terang aja nih yaa.. karya Garin lumayan fenomenal hingga majalah sebesar Positif mau membuat review khusus tentang karya-karyanya. ngga ada filmmaker Indonesia yang pernah mendapatkan perlakuan serupa.. :) tapi di sisi lain, gw bener-bener berharap kalo kadang Garin harus lebih jujur pada penontonnya (terutama di Indonesia, walaupun mungkin dia ngga peduli sama situasi itu). dalam wawancara yang gw baca itu, Garin ngomong gini :

"dans OPÉRA JAWA par exemple, j’ai voulu que Râvana représente le pouvoir économique –ce pourrait être les Etats-Unis – et Râma la pauvreté. Sinthà, c’est la terre qui est aujourd’hui un problème majeur à la fois objet de convoitise parce qu’elle contient le pétrole et sujet de préoccupations écologiques. Râvana, comme tout homme de pouvoir, est amené à prendre des positions extrêmes et utilise la violence. de même, Râma qui est exploité se sert de son arme"

--> bingungkan lo? sama.. gw juga bingung ko, hehehhe.. :P makanya gw minta tolong temen gw buat terjemahinnya. kira-kira kaya gini deh artinya..

"di dalam Opera Jawa, sebagai contoh, saya melihat bahwa Rahwana melambangkan kekuatan ekonomi (raksasa) – mungkin seperti US – dan Rama, kaum miskin. Sintha, adalah tanah yang sekarang menjadi masalah utama yang menjadi obyek perebutan karena mengandung minyak, selain juga sekarang menjadi keprihatinan (karena) masalah ekologi. Rahwana, sebagai orang yang berkuasa, melakukan tindakan yang ekstrim dan menggunakan kekerasan. di saat yang sama, Rama yang dieksploitasi mencoba mengangkat senjata"

yaa.. okelah kalau dia mau bicara tentang itu (gw ngga nentang ko..) Opera Jawa sendiri gw lihat sebagai film yang indah (terbukti dengan gw angkatnya sebagai bahan skripsi gw.. :D) dengan tata artistik yang bagus sekali dan memberikan gambaran kesungguhan Garin dalam membuat film. tapi, kaya yang gw tulis dalam judul tulisan ini.. Garin, tidak seperti pembuat-pembuat film macam Apichatpong atau Glauber Rocha, tidak pernah menghadirkan karakter yang modern. kalo Garin masih aja berkutat dengan tradisi (berbagai tradisi, baik Jawa, Papua, Bali, you name it-lah yang hadir di film-filmnya), maka saya akan bilang, bahwa Garin masih dan tidak akan beranjak dari dunia yang benar-benar diketahui dan di-imaninya : tradisi.

Opera Jawa adalah contoh yang paling bagus untuk menggambarkan ini. gw tau mungkin ujarannya tentang kapitalisme global dan posmodernisme dalam Opera Jawa adalah sesuatu yang benar. dia jujur & bilang itu dengan tulus. tapi gw harus bilang kalo ketulusannya itu adalah bagian dari dirinya yang – pria Jawa (mengandung makna konotasi).

main-main bentar yuk kita sama skenario atau lebih mudahnya, plot. dalam film Opera Jawa, ngga mungkin dong kita akan melihat perempuan Jawa angkat senjata membunuh suaminya yang merana ditinggal selingkuh. ngga mungkin dong kita melihat perempuan Jawa meninggalkan sang laki-laki, suami asli, untuk hidup damai sejahtera dengan sang selingkuhan karena dalam kosmologi Jawa, dunia mikro harus berdamai dengan dunia makro.

keharmonisan itu perlu, bahkan kalau perlu sampai mengorbankan nyawa sang perempuan. atau kata temen gw, hanya orang Jawalah yang bisa membunuh dengan sadis sang istri sambil masih menangis-nangis, melata-melata, mengatakan betapa sang suami begitu mencintai sang istri. kalo ngga Jawa, mana lagi yang bisa menyerap seluruh pengaruh dari luar dan mengatakan bahwa masa ini adalah masa posmodernisme? bukanlah keliatan dan fleksibiltas budaya itu yang menjadi ciri khas subyek Jawa? (tolong deh baca Nusa Jawanya Denys Lombard).

gw ngomong soal subyek dan aspirasi. dalam kuliah sejarah film dunia, gw dapet pelajaran: apa arti art-house cinema? apa arti sinema modern? sinema yang menggambarkan subyek modern, aspirasi modern. contohnya, karakter yang gelisah yang pesimis dengan masa depan peradaban manusia (Voyage to Italy, Roberto Rosselini), subyek yang terpecah-pecah, yang tak punya ingatan yang begitu padat dan bisa dipercaya, dalam film-film Alain Resnais (L’année derniere à Marienbad dan Hiroshima Mon Amour), subyek yang mengalami krisis eksitensial (Bergman atau Antonioni). atau hukum manusia modern dalam sistem kapitalisme, menurut sinema Hollywood klasik: manusia sebagai INDIVIDU. INDIVIDU!!!

manusia yang punya watak, psikologi sendiri yang bisa mengubah atau meraih destiny, bukan memasrahkan diri padanya. mau lihat film-film Garin Nugroho dikit nih.. dalam banyak filmnya, karakter manusia di dalam film tidaklah semodern penampakan dan tentu saja, bentuk film yang dipilih sutradaranya (sinema sendiri adalah seni dan piranti modern atau kapitalis). hampir semua karakter dalam film Garin Nugroho memiliki beban tradisi yang harus diatasinya, ngga tau itu di Sumbawa, di Jawa atau pun di Papua. emang kasihan banget karakter-karakter dalam film-film ini karena mereka tidak pernah menjadi individu yang sesungguhnya – seperti pengertian Rennaisance Barat.

semua nasib dan peruntungan sang karakter berada di bawah kendali – suka nggak suka, sadar nggak sadar – nasib! sistem kekuasaan, ekonomi, tradisi, orang tua, kelas sosial, apapunlah lo nyebutnya. ngga beda sama sinetron Indonesia yang naratifnya di-drive oleh nasib, kelas sosial, kebetulan dan hal-hal yang bersifat sosial. mungkin ngga heran pas kita lihat dua film Garin, Bulan Tertusuk Ilalang dan Under the Tree, kita melihat dua orang perempuan yang berbicara di telepon, dengan seseorang yang tak terlihat di frame. dua orang ini, tidak kebetulan, berada di sebuah ruang dan sistem yang membelenggunya. dan telepon adalah satu-satunya cara berkomunikasi dengan dunia luar - ia belum seperti film Queenbee, di mana ada internet, dengan facebook dan emailnya. dua orang perempuan ini ingin keluar dari belenggu tradisi, mencoba membebaskan diri, berteriak-teriak meminta tanggapan dari luar (dengan bahasa-bahasa mereka), tapi ngga pernah berbalas.

percakapan-percakapan dalam film Garin adalah percakapan-percakapan yang ngga berbalas. dan menurut gw, inilah gambaran Garin sendiri. ia nyoba keluar dari kungkungan tradisi yang membelenggunya, ia berteriak keluar – dengan cara modern, tetapi ia tak mampu. ia ngga dibalas. ia disalah pahami, bukan hanya oleh teman-teman di sekitarnya, tetapi juga orang-orang luar. mungkin juga oleh dirinya sendiri gw harus catat bahwa beberapa film yang dibuat Garin Nugroho, akhir-akhir ini adalah film pesanan, baik pihak dalam maupun luar negeri (festival sebagai pasar membentuk arus besar film-film seperti apa yang bisa diterima).

konteks produksi ini menurut gw ngejelasin mengapa film-filmnya semakin kehilangan personalitasnya (kata modern sinema sebagai alat ekspresi, semakin terasa samar-samar). hal yang gw pikirin ini juga menurut gw ngejelasin beberapa hal yang gw lihat dari pembuat film sejenis Garin macam Apichatpong dan Say, Zia Jhangke. mereka sama-sama dibesarkan oleh festival, sama-sama dibantu oleh semacam jaring kekuasaan dan pemasaran internasional, serta apa yang mungkin disebut 'estetika persoalan sosial dan kemiskinan'. tapi jelas banget, kita pun bisa merasakan mengapa film-film Apichatpong terasa modern : pandanganya tentang manusia, tentang karakter-karakter, tentang situasi sosial dan politik dan aspirasinya. ngga ada sentimentalisme dan eksotisme.

manusia dilihat sebagai individu – dengan jarak, dengan seluruh traitsnya. Bukan obyek klaustrofobik di tengah kuatnya sistem tradisi dan sistem sosial – dan terbenam di dalamnya. gw ngerasa agak songong dengan bilang bahwa tidak ada manusia modern dalam film-film Garin – tapi gw yakin ini benar. tidak ada pemberontakan yang mereka prakarsai sendiri.. semua dilakukan di dalam kungkung ruang, bernegosiasi dan berkompromi (tidak konfrontasi), memaklumi dan membiarkan. seolah-olah mengubah tetapi sebenarnya menyerapnya untuk memperkuat sistem yang telah ada sebelumnya. dan ini Jawa banget! gw juga orang Jawa.. :D

gw inget film-film Asrul Sani yang menurut gw membawa aspirasi yang jauh lebih modern dibandingkan film-film yang dibuat sekarang. Karakter-karakter manusia dalam film-film Asrul menyikapi dunia sebagai sebuah perjuangan individual. ambil dua contoh filmnya yaa.. (Pagar Kawat Berduri dan Apa Jang Kau Tjari, Palupi?). Garin menggunakan hukum penulisan skenario klasik Hollywood (individu drives the narrative), tetapi di saat yang sama, memasukkan persoalan-persoalan dan latar belakang sosial yang terjadi di Indonesia. manusia menjadi sesuatu yang penting, bukan gambaran atau ikonografi visual yang superflous (atau overwhelming). gw ngga tau apa ini kemunduran, toh menjadi modern bukanlah ritual yang menyenangkan. kalo pun ini disebut kemunduran, maka mungkin kita mengalami kemunduran karena tidak lagi bisa menghasilkan pembuat film yang memiliki aspirasi yang lebih liar, lebih modern. mungkin ini cuma menegaskan bahwa masyarakat kita belum kemana-mana. bahwa proyek-proyek pembangunan yang selama ini terjadi, tidak memperbaiki tingkat intelektualitas masyarakat. bahwa hal yang sungguh tidak mengherankan bahwa film-film horor dan sinetron-sinetron melodrama masih saja laku. ini soal belajar dari sejarah aja yaa..

correct me if I am wrong! :)

No comments:

Post a Comment

My photo
i don't care what people say, cause i know who i am