04 August 2012

Sayangnya Aku Bukan Alina

Ku temukan sebuah amplop rapih yang tertutup rapat di meja kerjaku senja itu, namun aku pun ragu bahwa aku akan mendapatkan surat di hari sabtu. Ku dekati amplop itu dan terbacalah sebuah tulisan diatasnya, untuk Alina. Namaku jelas bukan Alina, tetapi mengapa amplop tersebut ada di meja kerjaku? Sedangkang alamat maupun nama pengirimnya pun tak tertulis disana. Ragu aku membuka amplop tersebut, karena aku yakin ini bukan ditujukan untuk ku. Tetapi mengapa amplop ini ditaruh diatas meja kerjaku jika memang itu bukan ditujukan padaku. Lalu tak lama terdapat bisikan yang mengataka "bagaimana jika isi amplop tersebut sangatlah penting dan perlu waktu yang cepat untuk membalasnya?" Akhirnya ku beranikan diriku untuk memastikannya. Ku buka amplop tersebut perlahan dan dengan berhati-hati, aku tak ingin merusak bentuk amplop yang rapih ini. Terbukalah amplop tersebut, dan didalamnya kutemukan  terdapat sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Pengirimnya pasti mengirimkan sepotong senja di dalam amplop yang tertutup rapat ini dari tempat yang jauh, karena ia ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Karena sudah terlalu banyak kata di dunia dan kata-kata, ternyata, tidak dapat mengubah apa-apa. Namun sepotong senja ini tanpa harus berkata-kata ia akan tetap dapat bercerita dalam sejarah. Kata-kata memang tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita. * potongan cerpen dari  Seno Gumira Ajidarma, yang berjudul: Sepotong Senja Untuk Pacarku. Sepotong senja yang dikirimkan untuk Alina ini aku yakin bukan sekedar kata-kata cinta. Dikirimkan sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti sang pengirim mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala. Sore itu aku duduk seorang diri di beranda kamarku, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Aku merasakan bagaimana keindahan yang ingin diutarakan oleh pengirim untuk Alina.  Sayang aku bukan Alina. Alina manis, Alina sendu & hanya Alina yang akan ia ceritakan bagaimana kau mendapat senja itu. (Respon teks untuk cerpen Seno Gumira Ajidarma, yang berjudul: Sepotong Senja Untuk Pacarku)

01 August 2012

Sastra, Budaya dan Nusantara

Haaiii... Sudah 489 hari gue nggak isi blog ini, ahh.. Seperti orang sibuk saja. Atau mungkin sok sibuk! Yahh.. Entahlah biarkan pendapat yang membuat pendapat akan pendapatnya, hahhaha.. Sedikit bercerita tentang hari ini. Tada pagi gue mengalami perbincangan dengan salah satu teman di linimaya, cukup menarik sehingga gue berinisiatif untuk merangkumnya ke blog ini. Atas dasar itu pula gue mengisi blog ini lagi, hehhe.. Pembicaraan bermulai dari apa perbedaan bahasa Spanyol yang berada di Eropa dengan bahasa Spanyol yang berada di Amerika Selatan itu apa ya? Ohh.. Atau mungkin seperti bahasa Inggris-Amerika dan Inggris-British saja? Bukankan bahasa Latin itu dari Eropa? Mungkin jika dimaksudnya Amerika Latin, apakah dapat dikategorikan? Setelah dipikir-pikir, kasihan juga ya penduduk asli benua Amerika. Mereka sudah nggak akrab dengan 'bahasa Ibunya', karena yang berguna adalah bahasa warisan penjajah. Mari di cek dari utara ke selatan. Kanada? Inggris. Amerika? Inggris. Ahh.. Maaf, gue nggak bisa bilang Amerika itu negara, Amerika terlalu luas untuk dikatakan negara. Amerika itu benua. Baiklah.. Sebaiknya gue juga ganti kata Amerika diatas dengan USA? Namun tetap saja jawabannya.. Inggris. Dan bagaimana dengan Amerika Tengah serta Selatan (kecuali Brazil)? Mereka Spanyol. Brazil? Portugis. Seorang teman lain menanggapi pebincangan ini, Ia mengatakan bahwa Kanada lebih banyak menggunakan bahasa Perancis. Ohh.. Ini suatu pengetahuan tambahan buat gue pagi tadi, terima kasih sobat :) Argumenku dalam menanggapi pembicaraan pagi yang bisa dikatakan istimewa ini adalah "Kenapa mereka mesti malu untuk menggunakan bahasa daerah mereka sendiri?" Sama halnya dengan bila kita bertemu dengan 'bule-bule' dijalan, mereka dengan enaknya berbicara bahasa Inggris jika bertanya jalan. Sedangkan belum tentu (misalnya tukang becak) mengerti bahasa Inggris. Berbeda dengan Jepang atau Perancis, mereka tidak melayani turis yang tidak bisa berbahasa bahasa negaranya. Menurut gue ini jelas benar adanya, mengapa tidak? Apa kita mau bernasib seperti suku Aztec, Maya, Inca, Samoa, Indian? Bahasa mereka telah habis. Dipugar! Bayangkan saja, jika 15 hingga 30 tahun kedepan (jika tahun ini tidak kiamat). Suku batak, sunda, jawa, madura, bali, dayak, ambon, toraja, papua itu akan musnah dari Indonesia. Oke.. Oke.. Jika ada yang nggak suka gue menyebut dengan nama Indonesia, gimana kalo gue ganti Nusantara. Apanya yang Nusantara kalau bahasanya sudah dominan Inggris dan Perancis? Apakah ada sejarah Nusantara pernah dijajah oleh Inggris atau Perancis? Inggris cuma numpang 'buang hajat' di tanah Jawa! Sedangkan Perancis, sama sekali nihil dalam sejarah. Tapi lagi-lagi kenyataannya bagaimana sekarang? Inggris jadi bahasa penting melebihi bahasa persatuan di Nusantara ini. Disusul bahasa-bahasa dari Eropa yang sama sekali nggak ada korelasinya dengan NKRI. Yahh.. Kalo motivasi 'lo' menguasai bahasa asing (selain Inggris) adalah jembatan mengembangkan potensi diri. Sebaiknya jangan pernah lupakan asal muasal lo. Gue jelas lebih suka Rammstein, mereka jelas sekali: Mutlak Jerman, 100%! Kenapa gue suka? Karena menurut gue mereka itu pejuang budaya, bukan hanya sekedar dari hal substansi lagunya. Coba dengerin lagu Rammstein yang judulnya Amerika. Disana ada lirik seperti ini: "this is not a love song, I don't sing my mother tongue" brilian! Gue nggak tau ya apa motivasi mereka, tapi apa ada band Indonesia (kali ini Indonesia sangat jelas penggunaan katanya untuk gue pakai) yang sepede Rammstein. Mungkin JHF sudah mulai bergerak, sekarang mana yang lainnya? Jadi jika ada sebuah band Indonesia yang bergerak dengan semangat kedaerahan, jangan terburu-buru berpendapat kalo itu adalah primordialis atau chauvinis. Tolong dipikirkan lagi! Krakatau, Viki Sianipar, Balawan, JHF dan lain-lain adalah bukti kalo seni dan budaya itu bisa berjuang tanpa harus menghamba pada bahasa negara lain. Kalo kita aja nggak pede buat pakai 'bahasa Ibu' kita (baca: Tradisional dan Indonesia), jangan harap anak dan cucu lo punya identitas dalam sebuah peradaban. Masih perlu contoh? Dateng aja ke Jakarta dan coba data anak-anak muda yang hampir tyiap malam ada di &eleven. Apa mereka mengerti bahasa daerah asal orang tua mereka? Menjelang imsyak gue pun dapet materi menyenangkan dari sahabat lain yang selalu menyebut gue 'penulis satir' tentang bahasa. Ahh.. Jatuh cinta gue! Kalimat-kalimat yang dilontarkannya selalu membuat termotivasi untuk membaca lebih banyak buku, siap-siap ngumpulin peluru kalo suatu saat ditodong olehnya. Hahhaha.. Dia sedikit banyak mengajarkan gue tentang hal detail dan kesabaran. Pernah pula suatu ketika Ia bilang "Ojo kakehan konsep. Deingi ki modal, saiki yo prakteke, nek sing arepan kui jenenge konsepmu. Wis kui wae sing diinget." (yang artinya: jangan kebanyakan konsep. masa lalu itu modal, saat ini prakteknya, kalo masa depan itu konsep kamu. Udah itu aja yang lo inget." Selalu menyenangkan setiap kali berdiskusi dengan mahasiswa jurusan filsafat itu, meskipun medianya hanya personal messenger.
My photo
i don't care what people say, cause i know who i am