Namaku Iblis, dan aku jauh lebih tua darimu. Bahkan jauh lebih tua dari kakek buyutmu.
Hidup dalam beberapa zaman. Sudah berapa banyak masa berganti. Percayalah, zaman di kehidupanmu inilah yang paling menyenangkan buatku.
Dulu, tiap manusia hidup berdampingan saling menghormati. Tak ada benda apapun di dunia ini disebut harta. Karena harta tak lain berupa nilai persahabatan dan persaudaraan. Kau tak dapat mencurinya, karena harta macam itu jauh dari rasa iri juga dengki.
Tiap orang saling menyapa. Mengumbar senyum dan sapaan ramah. Tiap orang merasa bahwa dirinya bagian dari orang lain. Jadi, mustahil untuk saling menyakiti.
Bahkan kalaupun terjadi perselisihan, masih terdapat banyak penghormatan dan memaafkan. Tidak ada pedang, bedil atau tank baja, sebab introspeksi diri menjadi senjata satu-satunya.
Dulu, perempuan dimuliakan. Diberikan tempat paling teduh diantara terik mentari. Perempuan adalah ibu. Penjaga benih-benih kehidupan abadi. Mereka dijaga oleh semesta, dimana tak seorang lelaki pun berani berhasrat nista pada mereka.
Demikian pula lelaki di zamanku dulu. Mereka terhormat. Hanya berpihak pada kebenaran yang hakiki. Kata-kata mereka adalah candu perbuatannya. Tidak ada ingkar terucap. Lalu, mereka juga menjunjung tinggi kesetiaan.
Raja kami adil bijaksana. Titahnya, suara nurani rakyat. Kebijaksanaannya tumbuh dari tuturan para ibu. Kesaktiannya muncul dari polah para ayah utama.
Dulu kami ber-Tuhan satu. Hanya satu, tetapi Dia mampu menaungi seluruh manusia dalam kedamaian.
Tidak seperti kalian sekarang. Tuhan kalian banyak, tapi kasihnya hanya rekaan diri sendiri.
Namaku Iblis, dan aku nyaman hidup di duniamu kini.
No comments:
Post a Comment